Anggota
Keluarga Baru
Oleh : Faiqotul Muna
Namaku Naura Assyifa. Ayahku bekerja sebagai CEO di perusahaan keluargaku,
ibuku adalah anggota DPR Provinsi. Mereka selalu sibuk, kalaupun mereka pulang,
pasti aku sudah tidur lelap dan mereka sudah berangkat kerja saat aku belum bangun
tidur.
Di sekolah, aku membeli banyak makanan dan makan sepuasnya. Saat di
rumah, aku baru ingat kalau pembantuku sedang ambil cuti, jadi aku harus
membeli makanan untuk makan. Saat aku ingin menelpon mama untuk meminta uang,
aku mengurungkan niatku karena aku yakin pasti mama sedang sibuk sekarang,
begitupun papa. Sehingga aku meminta uang pada satpam.
Saat aku akan membeli makan, uangku jatuh. Aku tidak jadi membeli makan
dan pulang ke rumah. Namun, saat aku berada di depan taman, aku bertemu dengan
anak yang seumuran denganku dengan pakaian yang kumuh. Aku pun mendekati anak
itu untuk berkenalan.
“Hai, namaku Naura Assyifa, panggil aku Naura” sapaku pada anak itu yang
terkejut karena keberadaanku yang tiba-tiba. “eh- hai, namaku Nisa Ardella”
sahutnya dengan terbata-bata. “boleh duduk nggak?” tanyaku pada Nisa yang hanya
ditanggapi anggukan olehnya. “Azzam!” keningku berkerut, bingung karena
tiba-tiba Nisa berteriak memanggil anak kecil yang memakai seragam SD. “Ini
Azzam, adikku” kata Azzam. “hai Azzam, aku Naura, temennya Nisa. Azzam kok imut
banget sih?” jawabku sambil menyubit pipi Azzam.. “sakit kak!” aku melepaskan
tanganku dari pipi Azzam. “hehe, maaf ya”. Krucukkk krucuukkk. “Naura?
kamu laper ya?” Tanya Nisa sambil menahan tawa. “iyanih aku belum makan”
jawabku sambil malu. “kalo gitu, yuk beli makan!”. “iya deh, makasih ya” ucapku
pada Nisa
“Nis, kamu kok cuma beli 2 bungkus? Kan bisa beli 3 bungkus, aku janji
kembaliin nasi ini kok” ucapku. “uangku nggak bakal cukup untuk beli 3 bungkus,
lagi pula aku nggak terlalu laper kok, jadi berdua sama Azzam juga udah
kenyang. Kamu juga nggak perlu ngembaliin nasi itu” jawab Nisa. “tapi Nis aku
jadi nggak enak sama ka-”. “udah lupain aja, makan nggak boleh sambil makan Ra!”
potong Nisa.
Setelah selesai makan, aku pamit untuk pulang. Tapi, Nisa dan Azzam
memaksa untuk mengantarku pulang. Saat aku sudah sampai, ternyata tidak ada
orang di rumah. Akhirnya aku menginap di rumah Nisa. Pertamanya Nisa menolaknya
karena dia merasa aku tidak akan betah disana. Tapi, setelah aku membujuknya,
dia pun menyetujuinya. Aku sempat kaget melihat rumah Nisa. Rumahnya kecil,
hampir roboh, dan temboknya berasal dari kayu tripleks. Aku merasa bersalah
karena orang tuaku mengurusi masalah rakyat, tapi rumah Nisa malah seperti ini.
Ketika aku sudah di rumah aku harus bercerita tentang ini kepada mereka.
“maaf Ra, rumahku hanya seperti ini.” Ucap Nisa sedikit bersalah.
“seharusnya aku yang minta maaf Nis, maaf jika kerja orang tuaku tidak bisa
membantumu untuk membuat rumah yang lebih layak, maaf ya Nis” ucapku sambil
menahan air mata. “orang tuamu? Aku tidak mengenal mereka, kanapa mereka salah
sama aku?” Tanya Nisa dengan heran.”ibuku anggota DPR dan ayahku seorang CEO,
maafkan mereka jika mereka belum bisa merovasi rumahmu, aku janji jika mereka
pulang, aku akan bilang ini ke mereka” jawabku sambil menangis. “mereka nggak
salah kok Ra, mereka mungkin sedang sibuk dengan pekerjaannya jadi mereka belum
bisa untuk merenovasi rumahku, udah Naura jangan nangis.” Jawab Nisa merasa
bersalah. Aku mulai berhenti menangis ketika Nisa memelukku dan menenangkanku.
“Makasih ya Nisa, kamu baik banget” kataku sambil memeluknya. “iya sama-sama Ra”
jawabnya sambil tersenyum.
Hari semakin sore, sehingga angin mulai berhembus dengan kencang dan
membuatku menggigil kedinginan. Nisa yang menyadari aku kedinginan segera
mengambil selimut tipis, lebih tepatnya selendang. “Naura, kamu kedinginan ya?
Nih ada selimut buat kamu, maaf ya aku cuma punya ini” katanya sambil
menyerahkan selendang tersebut. “Makasih ya Nis, maaf ngrepotin” kataku. “Nggak
kok Ra, aku malah senang karena punya temen tidur, nggak sama Azzam terus”
ucapnya sambil tertawa dan membuatku juga tertawa.
Semakin malam, angin semakin kencang sehingga membuatku lebih menggigil.
Aku tidak bisa tidur karena kedinginan. Tapi, Nisa dan Azzam tidur sangat
nyenyak disampingku, mingkin karena mereka kelelahan mencari sampah plastik.
Aku hanya bisa menggigil sambil sesekali mencoba memejamkan mata untuk tidur
tapi tidak berhasil, aku tetap tak bisa tidur.
Walau sudah pagi, aku masih belum tidur. Tiba-tiba aku merasa tubuhku
lemas saat aku mencoba untuk duduk. “Naura? Kok wajah kamu pucat?” Tanya Nisa cemas.
Aku mencoba untuk menjawab pertanyaan Nisa, tapi kerongkonganku sangat kering
sehingga aku tak sanggup untuk menjawabnya. “Astagfirullah Naura! Badan kamu
panas!” teriak Nisa dan membuat Azzam bangun. “Kak Nis, jangan teriak-teriak
ini masih pagi kak!” protes Azzam pada Nisa. Nisa tak menggubris perkataan
Azzam, dia malah berlari untuk mengambil dan pergi. Namun, setelah berada di
dekat pintu berkata agar Azzam tetap disini untuk menjagaku.
Nisa datang dengan napas tersenggal-senggal dan membawa beberapa bungkus
obat dan sebungkus nasi. “Naura, makan dulu nanti minum obatnya!” kata Nisa
sambil menyuapkan nasi kepadaku. Setelah selesai minum obat, Nisa pergi keluar
dan aku ditemani Azzam. Namun, ketika Nisa datang, dia kelihatan sedikit kesal.
“Kamu dari mana Nis? Kok kamu ke-“ tanyaku “Kamu harus ke rumah sakit Ra” kata
Nisa memotong perkataanku dan aku hanya menganggukkan kepala karena tak kuat
untuk berdebat.
Di rumah sakit aku ditemani Nisa dan Azzam. “Ra, maaf ya, tadi aku pergi
ke rumahmu untuk memberi tahu orang tuamu kalau kamu lagi sakit, tapi aku malah
diusir sama satpam, aku akan kesana lagi kok biar orang tuamu tahu” kata Nisa.
“Makasih ya Nis”.
Aku sakit demam berdarah. Yang tahu hal itu cuma aku karena pada saat
itu Nisa sedang pergi dan aku menyuruh dokter untuk merahasiakannya. Setelah 5
hari aku dirawat di rumah sakit, orang tuaku datang dengan panik. Kelihatannya
mereka baru pulang dari luar negeri karena mereka sama sekali tak tahu kalau aku
sakit. “Naura kamu kenapa?” Tanya mama. “Aku cuma demam kok ma” jawabku.
“Naura, dia siapa?’ kata papa sambil menunjuk Nisa. “Itu Nisa pa, dia temanku
dan dia juga yang bayar biaya rumah sakitku” jawabku, tapi diacuhkan papa.
Saat Nisa pergi, papa mendekatiku. “Ra, kenapa kamu berteman dengan
dia?” tanya papa. “Pa, dia itu baik dan sopan” jawabku. “Tapi kamu nggak
selevel sama dia, Ra!” kata papa. “Pa, dia itu punya sifat yang baik, dia cari
uang lebih buat bayar biaya rumah sakit Naura, dia juga udah nggak punya orang
tua, jadi dia yang menghidupi adiknya, dia bahkan rela nggak sekolah demi
adiknya, rumahnya pun hampir roboh dan sudah nggak layak huni pa. Papa dan mama
pernah janji kalau bakal sejahterain masyarakat kan? Kalau gitu tolong bantuin
Nisa biar dia bisa sekolah dan dia nggak tinggal di rumah itu lagi.” Kataku
sambil menahan air mata. “Ra, maafin papa dan mama ya kalau kami udah langgar
janji kami, kami janji bakal bikin Nisa dan adiknya bahagia” kata mereka
bebarengan dan memelukku. “Makasih ma, pa” kataku
Aku terkejut karena papa mengumumkan kalau Nisa sekarang menjadi
kakakku, walau umur kami tidak terlalu jauh dan Azzam menjadi adikku. Namun,
setelah 3 hari, kesehatanku semakin memburuk. Keluargaku selalu mengunjungiku
dan menemaniku setiap hari. Tapi aku sudah tak kuat dengan sakit ini. “Pa, ma,
maksih ya sudah memenuhi permintaan ku” kataku pada papa dan mama, mereka hanya
menangis. “Nisa, Azzam makasih ya udah mau jadi kakak dan adik yang baik” Nisa
dan Azzam langsung memelukku erat. “Makasih buat semuanya karena udah buat
hidupku jadi lebih berwarna dan maafkan aku kalau aku punya salah” kataku
sambil menangis mengingat masa-masa kecilku. Dan saat itulah aku pergi
meninggalkan mereka semua. Aku tahu jika aku tidak ada, mereka akan lebih menyayangi
Nisa dan Azzam karena aku yakin mereka tak akan mau untuk kehilangan anak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar