Penyesalan
Oleh : Puput Pebriana
Namaku Ana, aku tinggal bersama
kedua orangtuaku, kakak perempuanku yang bernama Arina, dan adik perempuanku
yang bernama Aisha. Di rumahku tiada hari tanpa pertengkaran. Karena aku, Kak Arina,
dan Aisha selalu bertengkar meski masalahnya hanya sepele. Dan hari ini aku
menjalankan aktivitasku seperti biasa. Hari ini aku ada jadwal untuk latihan
pencak silat yang ku ikuti seminggu dua kali.
“ Bu,
aku berangkat, Assalamu’alaikum.” Teriakku sambil berlari.
“ Wa’alaikumsalam,
hati-hati di jalan ya Nak.” Sahut Ibuku.
Kemudian aku pun sampai di tempat
latihan silat. Aku mengikuti latihan seperti biasa. Setelah aku selesai latihan
silat, aku dipanggil dan disuruh untuk menemui Kak Hamdan yang merupakan salah
satu senior di perguruan.
“ Apa Kak Hamdan memanggil saya?” ucapku yang merasa
penasaran. “ Iya saya memanggil kamu karena
saya ingin memberitahu bahwa 2 minggu lagi ada kejuaraan pencak silat nasional dan
saya memilih kamu untuk mewakili perguruan untuk mengikuti kejuaraan tersebut.
Tapi dengan syarat kamu harus meminta izin kepada kedua orangtuamu dulu. Apakah
kamu bersedia Ana?” kata Kak Hamdan. “ Iya Kak, saya bersedia.” Jawabku dengan
semangat. “ Sekarang kamu boleh pulang Ana.” Kata Kak Hamdan. “ Siap Kak.”
Sahutku dengan gembira.
Setelah itu aku pulang. Dan
sesampainya dirumah, aku langsung mandi dan aku pun melihat bahwa kedua
orangtuaku dan kedua saudaraku berkumpul di ruang keluarga. Aku segera
menghampiri kedua orangtuaku, mencoba berbicara dan meminta izin pada mereka.
“ Ayah, Ibu... tadi setelah aku latihan silat, aku dipanggil
oleh Kak Hamdan, aku diberitahu oleh Kak Hamdan bahwa 2 minggu lagi ada
kejuaraan pencak silat nasional dan aku dipilih untuk mewakili perguruan dalam
kejuaraan tersebut. Apakah Ayah dan Ibu mengizinkanku untuk mengikuti kejuaraan
itu?” kataku dengan penuh harap agar mereka menyetujuinya. “ Ana,.. sebaiknya
kamu tidak usah mengikuti kejuaraan itu,... ibu khawatir jika kamu nanti
kenapa-napa. Ibu tidak tega Nak.” Kata Ibuku. “ Tapi Bu,...” kataku sedikit
kecewa. “ Sudahlah Nak, benar apa yang dikatakan Ibumu, Ayah juga khawatir jika
kamu nanti terluka.” Sahut Ayahku. “ Iiih,... kamu ya Ana, sok-sok an mau ikut
kejuaraan pencak silat, mana bisa. Paling-paling ditonjok satu kali aja kamu
sudah pingsan.” Kata kakakku meledek. “ Aku itu ngajak ngomong Ayah sama Ibu.
Bukan sama kamu. Dan inipun bukan urusan kamu. Arina,...!!!” kataku membentak. “
Ana,... panggil kakakmu itu dengan sebutan Kak, jangan memanggil namanya saja.
Tidak sopan Nak.” Kata ibu menesehatiku. “ Iya nihh. Kak Ana nggak punya sopan
santun sama sekali.” Sahut adikku Aisha. “ Hei kamu masih kecil udah berani
sama aku ya,... dasar mulut comel.” Ucapku. “ Sudahlah Ana, kamu itu yang lebih
tua dari Aisha seharusnya bisa mengalah dan bisa menjaga emosi.” Kata ayah yang
juga menesehatiku. “ Oke, belain terus anak-anak yang suka ceplas ceplos dan
punya mulut comel itu. Aku nggak butuh pembelaan dari kalian. Aku menyesal
telah lahir di keluarga ini dan punya dua saudara seperti Arina dan Aisha.”
Ucapku membentak semua anggota keluargaku. “ Ana tunggu dulu...” Teriak Ibuku.
Setelah itu aku pergi menuju kamar.
Setelah berada di dalam kamar, aku pun berpikir. “ Kenapa sih selalu mereka
yang dibela, dan selalu aku yang salah. Ya Tuhan... apa yang salah denganku,
tidak ada seorang pun yang membelaku dan tidak ada seorang pun yang sayang
kepadaku. Tapi ya sudahlah,... dari pada pusing memikirkan itu mending aku
tidur.”
Setelah aku mengoceh terus di kamar aku pun tertidur pulas.
Dan esok paginya aku terbangun. Aku terkejut melihat semuanya sudah bersiap-siap
dan mengemasi barang-barang mereka. Aku baru ingat hari ini adalah hari Minggu
dan ada jadwal untuk pergi liburan. Tapi sebenarnya aku juga tidak tahu
keluargaku akan liburan kemana. Dan akupun pura-pura lupa bahwa hari ini akan
liburan agar aku tidak diajak dan tidak ikut liburan karena aku malas sekali
yang namanya liburan, apalagi bersama kedua saudaraku.
“ Lho, kenapa semuanya berkemas dan bersiap-siap, memangnya
kalian mau kemana?” kataku berpura-pura lupa. “ Ana, apakah kamu lupa, hari ini
kita semuakan ada jadwal untuk pergi liburan bersama. Dan kenapa kamu masih
belum bersiap-siap?” Kata Ibuku yang sabar menjawab pertanyaanku. “ Memangnya
kita akan pergi liburan kemana?” Ucapku yang sebenarnya aku juga penasaran. “
Kita akan pergi ke danau yang ada ditengah hutan. Pemandangan di danau itu
sangat indah dan kita akan camping juga disana. Tenang saja Ana, disana ada
polisi yang selalu berpatroli untuk menjaga keamanan. Jadi kamu tidak usah
khawatir.” Sahut Ayahku. “ Haaaaa,.... kita akan camping, lumayan menarik, tapi
kan aku juga akan bersama dengan Arina dan Aisha,... Hhh sangat membosankan.“
Kataku di dalam hati. Kemudian aku menjawab “ Aku tidak ikut. Aku Malas jika
ada Arina dan Aisha.”
“
Kenapa jadi nyangkut-nyangkutin aku dan Aisha sih, bilang aja kamu takut kan
camping di tengah hutan?” Sahut Kakakku agak emosi dan juga meledekku. “ Siapa
juga yang takut.” Bantahku. “ Sudah-sudah, Ana kamu harus ikut ya?” Ucap Ibu
bertanya padaku. “ Kalau dibilang tidak ya tidak. Aku malas kalau harus liburan
bersama dua anak yang punya mulut rumpi itu.” Jawabku agal kesal. “ Hmm, begini...
jika kamu ikut untuk pergi liburan, Ayah dan Ibu akan mengizinkanmu untuk
mengikuti kejuaraan pencak silat nasional bagaimana?” Ayah membujukku. “
Waaaahhhh, beneran... YOSH! Yahuuu!” Jawabku dengan semangat.
Setelah itu akupun pergi ke kamar untuk mandi, bersiap-siap,
dan mengemasi semua barang akan aku bawa nanti. Ketika aku akan keluar dari
kamar aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orangtuaku. “ Yah, semoga
setelah kita liburan kali ini anak-anak kita akan menjadi rukun ya,?” Kata
Ibuku. “ Iya.” Jawab dari Ayahku.
Setelah pembicaraan itu selesai kedua orangtuaku memanggil
aku, Kak Arina, dan Aisha untuk segera keluar dari kamar dan segera masuk
mobil. Perjalanan kita kali ini membutuhkan waktu selama lima jam. Tiba-tiba
kakakku, Arina berkata “ Kayaknya tadi ada anak yang nggak mau diajak liburan
dehh,... tapi kenapa anak itu ada di dalam mobil sekarang?”. “ Iya, yang tadi
sok-sok an males liburan tapi padahal takut camping di tengah hutan kan?” Sahut
Aisha yang bersekongkol dengan Kak Arina untuk meledekku. “ Hei kalian berdua
yang punya mulut rumpi, maksut kalian berdua itu apa?” Kataku membentak mereka.
“ Eh, dianya sadar kalau yang kita bicarain itu dia.” Sahut Aisha. “ Eh,... sudah...sudah.”
Ucap Ibu melerai pertengkaran kami. “ Iya,.. jangan bertengkar, kita sudah
memasuki jalan hutan yang berjurang lho, jadi kalian ini jangan bertengkar
terus, biarkan Ayah berkonsentrasi dalam menyetir.” Sahut Ayahku yang
menasehati kami yang sedang bertengkar.
Karena Ayah menasehati kami dengan
menghadap ke belakang, Ayah tidak sadar bahwa di depan ada jalan berbelok. Karena
ayah tidak sempat mengerem, akhirnya mobil kami jatuh ke jurang.
“ Ana,... Ana.” Aku mendengar ada suara orang yang berusaha
membangunkanku. Dan sedikit-sedikit mataku terbuka ternyata Ibuku berusaha
membangunkanku dan aku pun terkejut kami berada di dasar jurang. “ Ana, kamu
tidak apa-apa kan?” Tanya Ibuku. “ Iya Bu, aku tidak apa-apa hanya kepalaku
sedikit pusing dan lecet yang ada di kakiku. Lalu Ibu sendiri bagaimana?”
Ucapku sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing. “ Iya, ibu tidak apa-apa. Ana
tolong bantu Ibu untuk mengangkat ini agar adikmu bisa keluar.” Kata Ibu. Ternyata
Aisha tertindih mobil. Setelah itu Aisha bisa keluar dari tindihan mobil itu.
Kemudian aku bertanya pada Ibuku bagaimana kodisi Ayah dan Kak Arina.
“ Bu, Ayah dan Kak Arina sekarang dimana dan kondisinya
bagaimana?” Tanyaku pada Ibu. “ Ayah dan Arina,...” Ibuku menangis seketika.
Aku bingung dan aku pun bertanya sekali lagi. “ Bu, kenapa Ibu menangis,
bagaimana kondisi Ayah dan Arina?”. “
Ana mereka sudah tiada, Ayah dan Kakakmu sudah meninggal, kepala mereka
tertindih mobil. Kita terpaksa harus meninggalkan mereka dan segera mencari
bantuan.” Kata Ibuku sambil mengusap air matanya.
Karena hari itu sudah mulai gelap, akhirnya
aku, Ibuku, dan Aisha mencari jalan untuk meninggalkan jurang itu dan segera
mancari bantuan. Tapi adikku, Aisha menangis sambil berkata “ Ini semua salah
Kak Ana, karena Kak Ana semua ini terjadi.”. “ Lho kenapa jadi aku yang
disalahin, ini semua itu salah kamu,... jika kamu nggak bersekongkol dengan
Arina untuk meledekku mungkin ini semua tidak akan terjadi.” Kataku agak emosi.
“ Sudahlah Ana, seharusnya kamu itu mengalah karena kamu yang lebih tua dari
Aisha.” Sahut Ibuku yang tidak merasakan rasanya menjadi orang yang selalu
disalahkan. “ Bela saja anakmu yang suka memutarbalikkan fakta itu. Toh Ibu
juga tidak sayang kepadaku kan, Ibu selalu membela Aisha. Sekarang aku akan
pergi sendiri kalian berdua juga pergi. Aku bisa kok hidup tanpa kalian.” Aku
membentak Ibuku. “ Ana, tunggu...” Teriak Ibuku.
Aku berjalan melewati jurang itu
sendiri. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghadangku. “ Hei bocah,
serahkan semua barang yang kau bawa.” Kata laki-laki itu. “Oh, ternyata anda perampok
ya?” Ucapku. “ Serahkan semua barangmu atau ku bunuh kau!” Kata perampok. “ Oh,
jadi anda mengancam saya dan anda juga membawa senjata tajam ya, apakah jika
anda mengancam saya dan membawa senjata tajam saya akan takut, oohhh,.. tidak
bisa.” Kataku sambil meledek. Perampok itu kemudian menyerangku menggunakan senjata
tajamnya dan aku bisa menghindari serangannya itu. Sekarang waktunya aku yang
menyerang balik dengan senjata andalanku, yaitu tonjokan tangan yang di ajarkan
oleh Kak Hamdan. Kemudian perampok itu pun kalah dan akhirnya dia memberi
tahuku bahwa dia disini tidak sendiri, dia bersama seorang teman yang sekarang
mengincar seorang ibu dan anak gadisnya yang jaraknya tidak jauh dari sini.
Kemudian aku lepaskan perampok itu dan tanpa berpikir panjang aku langsung lari
menuju arah dimana aku, Ibuku, dan Aisha berpisah. Setelah aku sampai, aku
melihat adikku yang tergeletak di tanah dan sudah tidak bernyawa. Aku pun
langsung gemetar, ternyata disebelah adikku ada Ibuku yang tergeletak
menyebut-nyebut namaku. “ Ana,... Ana.”. “ Bu, kenapa jadi seperti ini?”
tanyaku. Ibuku terdiam, Ibuku memegang tanganku erat-erat dan berkata “ Ana,
ketahuilah Ibu itu sebenarnya sayang kepadamu, jangan berfikir bahwa Ibu, Ayah,
Arina, dan Aisha tidak menyayangimu. Itu salah, kami semua itu menyayangimu,
tapi kamu tidak mengerti. Ketahuilah Nak, sayang itu tidak harus dikatakan...
Kami semua akan meninggalkan mu,... kamu harus bisa bertahan hidup dan bisa
mencari jalan untuk keluar dari jurang ini Ana,...” Setelah Ibu berkata seperti
itu, genggaman erat Ibu pada tanganku terlepas. Dan Ibu sudah tiada. Seketika
itu juga aku menangis sekencang kencangnya. Air mataku tak henti-hentinya
mengalir.
Kemudian setelah itu ada cahaya
senter yang menyorot ke wajahku dan ternyata ada 2 orang penduduk sekitar yang
sedang mencari kayu bakar. Dan setelah itu aku meminta bantuan orang tersebut.
Aku diminta untuk menceritakan semuanya dari awal. Karena bantuan dari penduduk
sekitar, keesokan harinya jenazah Ayah, Ibu, Arina, dan Aisha dimakamkan. Di
depan makam mereka aku menangis dan menyesali semua perbuatanku. Aku menyesal
karena aku selalu bersikap egois, membentak, dan berkata kasar kepada mereka. Semasa
mereka masih hidup sedikit pun aku belum bisa membuat bangga dan membahagiakan
mereka. Aku pun belum minta maaf kepada mereka atas semua kesalahanku. Andai
aku mempunyai mesin waktu, aku akan kembali ke masa lalu dan berusaha untuk
menjadi anak yang lebih baik dan rasa penyesalan ini tidak akan kurasakan. Tapi
pengandaian itu tidak mungkin terwujud. Dan sekarang tinggallah kenyataan bahwa
sekarang aku harus menjalani hidupku sendiri tanpa mereka. Selamat jalan Ayah,
selamat jalan Ibu, selamat jalan Kak Arina, dan selamat jalan Adikku Aisha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar