Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Maret 2016

Cerpen Karangan : Penyesalan

Penyesalan
Oleh : Puput Pebriana

            Namaku Ana, aku tinggal bersama kedua orangtuaku, kakak perempuanku yang bernama Arina, dan adik perempuanku yang bernama Aisha. Di rumahku tiada hari tanpa pertengkaran. Karena aku, Kak Arina, dan Aisha selalu bertengkar meski masalahnya hanya sepele. Dan hari ini aku menjalankan aktivitasku seperti biasa. Hari ini aku ada jadwal untuk latihan pencak silat yang ku ikuti seminggu dua kali.
“ Bu, aku berangkat, Assalamu’alaikum.” Teriakku sambil berlari.
“ Wa’alaikumsalam, hati-hati di jalan ya Nak.” Sahut Ibuku.
            Kemudian aku pun sampai di tempat latihan silat. Aku mengikuti latihan seperti biasa. Setelah aku selesai latihan silat, aku dipanggil dan disuruh untuk menemui Kak Hamdan yang merupakan salah satu senior di perguruan.
“ Apa Kak Hamdan memanggil saya?” ucapku yang merasa penasaran.  “ Iya saya memanggil kamu karena saya ingin memberitahu bahwa 2 minggu lagi ada kejuaraan pencak silat nasional dan saya memilih kamu untuk mewakili perguruan untuk mengikuti kejuaraan tersebut. Tapi dengan syarat kamu harus meminta izin kepada kedua orangtuamu dulu. Apakah kamu bersedia Ana?” kata Kak Hamdan. “ Iya Kak, saya bersedia.” Jawabku dengan semangat. “ Sekarang kamu boleh pulang Ana.” Kata Kak Hamdan. “ Siap Kak.” Sahutku dengan gembira.
            Setelah itu aku pulang. Dan sesampainya dirumah, aku langsung mandi dan aku pun melihat bahwa kedua orangtuaku dan kedua saudaraku berkumpul di ruang keluarga. Aku segera menghampiri kedua orangtuaku, mencoba  berbicara dan meminta izin pada mereka.
“ Ayah, Ibu... tadi setelah aku latihan silat, aku dipanggil oleh Kak Hamdan, aku diberitahu oleh Kak Hamdan bahwa 2 minggu lagi ada kejuaraan pencak silat nasional dan aku dipilih untuk mewakili perguruan dalam kejuaraan tersebut. Apakah Ayah dan Ibu mengizinkanku untuk mengikuti kejuaraan itu?” kataku dengan penuh harap agar mereka menyetujuinya. “ Ana,.. sebaiknya kamu tidak usah mengikuti kejuaraan itu,... ibu khawatir jika kamu nanti kenapa-napa. Ibu tidak tega Nak.” Kata Ibuku. “ Tapi Bu,...” kataku sedikit kecewa. “ Sudahlah Nak, benar apa yang dikatakan Ibumu, Ayah juga khawatir jika kamu nanti terluka.” Sahut Ayahku. “ Iiih,... kamu ya Ana, sok-sok an mau ikut kejuaraan pencak silat, mana bisa. Paling-paling ditonjok satu kali aja kamu sudah pingsan.” Kata kakakku meledek. “ Aku itu ngajak ngomong Ayah sama Ibu. Bukan sama kamu. Dan inipun bukan urusan kamu. Arina,...!!!” kataku membentak. “ Ana,... panggil kakakmu itu dengan sebutan Kak, jangan memanggil namanya saja. Tidak sopan Nak.” Kata ibu menesehatiku. “ Iya nihh. Kak Ana nggak punya sopan santun sama sekali.” Sahut adikku Aisha. “ Hei kamu masih kecil udah berani sama aku ya,... dasar mulut comel.” Ucapku. “ Sudahlah Ana, kamu itu yang lebih tua dari Aisha seharusnya bisa mengalah dan bisa menjaga emosi.” Kata ayah yang juga menesehatiku. “ Oke, belain terus anak-anak yang suka ceplas ceplos dan punya mulut comel itu. Aku nggak butuh pembelaan dari kalian. Aku menyesal telah lahir di keluarga ini dan punya dua saudara seperti Arina dan Aisha.” Ucapku membentak semua anggota keluargaku. “ Ana tunggu dulu...” Teriak Ibuku.
            Setelah itu aku pergi menuju kamar. Setelah berada di dalam kamar, aku pun berpikir. “ Kenapa sih selalu mereka yang dibela, dan selalu aku yang salah. Ya Tuhan... apa yang salah denganku, tidak ada seorang pun yang membelaku dan tidak ada seorang pun yang sayang kepadaku. Tapi ya sudahlah,... dari pada pusing memikirkan itu mending aku tidur.”
Setelah aku mengoceh terus di kamar aku pun tertidur pulas. Dan esok paginya aku terbangun. Aku terkejut melihat semuanya sudah bersiap-siap dan mengemasi barang-barang mereka. Aku baru ingat hari ini adalah hari Minggu dan ada jadwal untuk pergi liburan. Tapi sebenarnya aku juga tidak tahu keluargaku akan liburan kemana. Dan akupun pura-pura lupa bahwa hari ini akan liburan agar aku tidak diajak dan tidak ikut liburan karena aku malas sekali yang namanya liburan, apalagi bersama kedua saudaraku.
“ Lho, kenapa semuanya berkemas dan bersiap-siap, memangnya kalian mau kemana?” kataku berpura-pura lupa. “ Ana, apakah kamu lupa, hari ini kita semuakan ada jadwal untuk pergi liburan bersama. Dan kenapa kamu masih belum bersiap-siap?” Kata Ibuku yang sabar menjawab pertanyaanku. “ Memangnya kita akan pergi liburan kemana?” Ucapku yang sebenarnya aku juga penasaran. “ Kita akan pergi ke danau yang ada ditengah hutan. Pemandangan di danau itu sangat indah dan kita akan camping juga disana. Tenang saja Ana, disana ada polisi yang selalu berpatroli untuk menjaga keamanan. Jadi kamu tidak usah khawatir.” Sahut Ayahku. “ Haaaaa,.... kita akan camping, lumayan menarik, tapi kan aku juga akan bersama dengan Arina dan Aisha,... Hhh sangat membosankan.“ Kataku di dalam hati. Kemudian aku menjawab “ Aku tidak ikut. Aku Malas jika ada Arina dan Aisha.”
“ Kenapa jadi nyangkut-nyangkutin aku dan Aisha sih, bilang aja kamu takut kan camping di tengah hutan?” Sahut Kakakku agak emosi dan juga meledekku. “ Siapa juga yang takut.” Bantahku. “ Sudah-sudah, Ana kamu harus ikut ya?” Ucap Ibu bertanya padaku. “ Kalau dibilang tidak ya tidak. Aku malas kalau harus liburan bersama dua anak yang punya mulut rumpi itu.” Jawabku agal kesal. “ Hmm, begini... jika kamu ikut untuk pergi liburan, Ayah dan Ibu akan mengizinkanmu untuk mengikuti kejuaraan pencak silat nasional bagaimana?” Ayah membujukku. “ Waaaahhhh, beneran... YOSH! Yahuuu!” Jawabku dengan semangat.
Setelah itu akupun pergi ke kamar untuk mandi, bersiap-siap, dan mengemasi semua barang akan aku bawa nanti. Ketika aku akan keluar dari kamar aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orangtuaku. “ Yah, semoga setelah kita liburan kali ini anak-anak kita akan menjadi rukun ya,?” Kata Ibuku. “ Iya.” Jawab dari Ayahku.
Setelah pembicaraan itu selesai kedua orangtuaku memanggil aku, Kak Arina, dan Aisha untuk segera keluar dari kamar dan segera masuk mobil. Perjalanan kita kali ini membutuhkan waktu selama lima jam. Tiba-tiba kakakku, Arina berkata “ Kayaknya tadi ada anak yang nggak mau diajak liburan dehh,... tapi kenapa anak itu ada di dalam mobil sekarang?”. “ Iya, yang tadi sok-sok an males liburan tapi padahal takut camping di tengah hutan kan?” Sahut Aisha yang bersekongkol dengan Kak Arina untuk meledekku. “ Hei kalian berdua yang punya mulut rumpi, maksut kalian berdua itu apa?” Kataku membentak mereka. “ Eh, dianya sadar kalau yang kita bicarain itu dia.” Sahut Aisha. “ Eh,... sudah...sudah.” Ucap Ibu melerai pertengkaran kami. “ Iya,.. jangan bertengkar, kita sudah memasuki jalan hutan yang berjurang lho, jadi kalian ini jangan bertengkar terus, biarkan Ayah berkonsentrasi dalam menyetir.” Sahut Ayahku yang menasehati kami yang sedang bertengkar.
            Karena Ayah menasehati kami dengan menghadap ke belakang, Ayah tidak sadar bahwa di depan ada jalan berbelok. Karena ayah tidak sempat mengerem, akhirnya mobil kami jatuh ke jurang.
“ Ana,... Ana.” Aku mendengar ada suara orang yang berusaha membangunkanku. Dan sedikit-sedikit mataku terbuka ternyata Ibuku berusaha membangunkanku dan aku pun terkejut kami berada di dasar jurang. “ Ana, kamu tidak apa-apa kan?” Tanya Ibuku. “ Iya Bu, aku tidak apa-apa hanya kepalaku sedikit pusing dan lecet yang ada di kakiku. Lalu Ibu sendiri bagaimana?” Ucapku sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing. “ Iya, ibu tidak apa-apa. Ana tolong bantu Ibu untuk mengangkat ini agar adikmu bisa keluar.” Kata Ibu. Ternyata Aisha tertindih mobil. Setelah itu Aisha bisa keluar dari tindihan mobil itu. Kemudian aku bertanya pada Ibuku bagaimana kodisi Ayah dan Kak Arina.
“ Bu, Ayah dan Kak Arina sekarang dimana dan kondisinya bagaimana?” Tanyaku pada Ibu. “ Ayah dan Arina,...” Ibuku menangis seketika. Aku bingung dan aku pun bertanya sekali lagi. “ Bu, kenapa Ibu menangis, bagaimana kondisi Ayah dan Arina?”.  “ Ana mereka sudah tiada, Ayah dan Kakakmu sudah meninggal, kepala mereka tertindih mobil. Kita terpaksa harus meninggalkan mereka dan segera mencari bantuan.” Kata Ibuku sambil mengusap air matanya.
            Karena hari itu sudah mulai gelap, akhirnya aku, Ibuku, dan Aisha mencari jalan untuk meninggalkan jurang itu dan segera mancari bantuan. Tapi adikku, Aisha menangis sambil berkata “ Ini semua salah Kak Ana, karena Kak Ana semua ini terjadi.”. “ Lho kenapa jadi aku yang disalahin, ini semua itu salah kamu,... jika kamu nggak bersekongkol dengan Arina untuk meledekku mungkin ini semua tidak akan terjadi.” Kataku agak emosi. “ Sudahlah Ana, seharusnya kamu itu mengalah karena kamu yang lebih tua dari Aisha.” Sahut Ibuku yang tidak merasakan rasanya menjadi orang yang selalu disalahkan. “ Bela saja anakmu yang suka memutarbalikkan fakta itu. Toh Ibu juga tidak sayang kepadaku kan, Ibu selalu membela Aisha. Sekarang aku akan pergi sendiri kalian berdua juga pergi. Aku bisa kok hidup tanpa kalian.” Aku membentak Ibuku. “ Ana, tunggu...” Teriak Ibuku.
            Aku berjalan melewati jurang itu sendiri. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghadangku. “ Hei bocah, serahkan semua barang yang kau bawa.” Kata laki-laki itu. “Oh, ternyata anda perampok ya?” Ucapku. “ Serahkan semua barangmu atau ku bunuh kau!” Kata perampok. “ Oh, jadi anda mengancam saya dan anda juga membawa senjata tajam ya, apakah jika anda mengancam saya dan membawa senjata tajam saya akan takut, oohhh,.. tidak bisa.” Kataku sambil meledek. Perampok itu kemudian menyerangku menggunakan senjata tajamnya dan aku bisa menghindari serangannya itu. Sekarang waktunya aku yang menyerang balik dengan senjata andalanku, yaitu tonjokan tangan yang di ajarkan oleh Kak Hamdan. Kemudian perampok itu pun kalah dan akhirnya dia memberi tahuku bahwa dia disini tidak sendiri, dia bersama seorang teman yang sekarang mengincar seorang ibu dan anak gadisnya yang jaraknya tidak jauh dari sini. Kemudian aku lepaskan perampok itu dan tanpa berpikir panjang aku langsung lari menuju arah dimana aku, Ibuku, dan Aisha berpisah. Setelah aku sampai, aku melihat adikku yang tergeletak di tanah dan sudah tidak bernyawa. Aku pun langsung gemetar, ternyata disebelah adikku ada Ibuku yang tergeletak menyebut-nyebut namaku. “ Ana,... Ana.”. “ Bu, kenapa jadi seperti ini?” tanyaku. Ibuku terdiam, Ibuku memegang tanganku erat-erat dan berkata “ Ana, ketahuilah Ibu itu sebenarnya sayang kepadamu, jangan berfikir bahwa Ibu, Ayah, Arina, dan Aisha tidak menyayangimu. Itu salah, kami semua itu menyayangimu, tapi kamu tidak mengerti. Ketahuilah Nak, sayang itu tidak harus dikatakan... Kami semua akan meninggalkan mu,... kamu harus bisa bertahan hidup dan bisa mencari jalan untuk keluar dari jurang ini Ana,...” Setelah Ibu berkata seperti itu, genggaman erat Ibu pada tanganku terlepas. Dan Ibu sudah tiada. Seketika itu juga aku menangis sekencang kencangnya. Air mataku tak henti-hentinya mengalir.

            Kemudian setelah itu ada cahaya senter yang menyorot ke wajahku dan ternyata ada 2 orang penduduk sekitar yang sedang mencari kayu bakar. Dan setelah itu aku meminta bantuan orang tersebut. Aku diminta untuk menceritakan semuanya dari awal. Karena bantuan dari penduduk sekitar, keesokan harinya jenazah Ayah, Ibu, Arina, dan Aisha dimakamkan. Di depan makam mereka aku menangis dan menyesali semua perbuatanku. Aku menyesal karena aku selalu bersikap egois, membentak, dan berkata kasar kepada mereka. Semasa mereka masih hidup sedikit pun aku belum bisa membuat bangga dan membahagiakan mereka. Aku pun belum minta maaf kepada mereka atas semua kesalahanku. Andai aku mempunyai mesin waktu, aku akan kembali ke masa lalu dan berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik dan rasa penyesalan ini tidak akan kurasakan. Tapi pengandaian itu tidak mungkin terwujud. Dan sekarang tinggallah kenyataan bahwa sekarang aku harus menjalani hidupku sendiri tanpa mereka. Selamat jalan Ayah, selamat jalan Ibu, selamat jalan Kak Arina, dan selamat jalan Adikku Aisha.

Tidak ada komentar: