PONDOK
PESANTREN LOVE YOU FULL
Oleh : Habibah
Assa’addah
SMA??? Sebuah tempat yang sangat
diimpi-impikan hampir seluruh siswa SMP bahkan MTs sekalipun, terutama kelas 9.
Tempat yang identik akan kesenangan dan kebersamaan bersama sahabat tercinta
ataupun untuk memulai masa pacaran. Memulai memikirkan masa depan yang cerah.
Masa depan yang cerah tanpa agama yang kuat? Bagi sebagian orang yang masih
memikirkan pentingnya agama, mungkin itulah yang harus diperhatikan
betul-betul.
Inilah yang terjadi padaku. Seorang
gadis cantik, pintar dan muslimah. Muslimah? Benar taat beribadah pun selalu, mengaji pun sering,
menutup aurat pun juga selalu. Tapi itu dulu. Entah apa yang terjadi dengan
diriku? Aku lebih memilih menanggalkan hijabku hanya untuk masuk sebuah SMA.
Tempat yang mungkin hanya akan menjerumuskanku ke dalam jurang kesesatan.
“Kamu Mirsha! Kamu mau melanjutkan
sekolah ke mana?” Tanya Pak Ulum
“Ke SMA Taruna lah pak. Keren banget
tuh SMA dan nilaiku pasti sampai buat masuk sana.” Jawab Mirsha dengan
congkaknya.
Yaaap. Mirsha Dalyla Wijayanti. Aku
adalah seorang yatim piatu. Sekarang aku hanya tinggal bersama kakak sepupuku
dan suaminya. Tahun ini aku akan menutup gerbang Mtsku dan membuka gerbang SMA
yang kubangga-banggakan itu. Bersekolah di MTs itu bukanlah keinginanku.
Melainkan karena paksaan dari kakak sepupuku, Kak Ulayya. Namun itu dulu, sekarang
keputusan ada di tanganku, Kak Ulayya gak boleh ikut campur.
“Kamu nggak boleh masuk SMA, kamu
harus ke MAN atau bahkan ke Pondok aja sekalian.” Paksa Kak Ulayya.
“Sorry ya Kak Ulayya yang cantik,
aku ini sudah besar jadi semua keputusan ada di tanganku. Kakak nggak perlu
campur tangan, oke” Jawabku dengan agak mengejek.
“Kamu kok semakin ngelunjak gini
sih?” Sambung Kak Ulayya yang darahnya semakin naik tak karuan.
“Kamu ini cuma sepupu aku, kamu gak
punya hak untuk hidupku.” Emosiku semakin tidak terkontrol.
“Aku ini memang cuma sepupu kamu,
tapi aku ngelakuin semua ini atas amanat almarhum kedua orang tuamu. Baca surat
ini.” Tegas Kak Ulayya
“Udah.. udah.. masalah ini kita
selesaikan nanti aja, oke” Lerai suami Kak Ulayya, Kak Ilmi.
Aku pun langsung masuk kamar dengan
wajah bersungut-sungut. Dengan tangan gemetar, aku membuka surat yang diberikan
Kak Ulayya.
For:
Mirsha Dalyla Wijayanti
Assalamualaikum,
My Lovely Daughter
Maaf, umi gak bisa mengatakannya langsung. Abi
sama Umi punya pesan untuk kamu, jangan sekali-kali kamu tinggalkan ibadah. Oh
ya sampai lupa, umi pengen kamu nglanjutin sekolah kamu ke sekolah agama saja
terserah kamu mau masuk pesantren ataupun masuk MTs keputusan ada di tangan
kamu. Jan...
Surat
itu tiada berkelanjutan. Mungkin sebelum surat itu selesai ditulis Umi ,
kecelakaan dah datang.
Keesokan harinya, Mirsha diajak Kak Ilmi dan Kak Ulayya ke sebuah
pengajian pondok. Awalnya Mirsha menolak, tetapi ada suatu alasan yang
membuatnya menurut.
“Kamu tahu nggak, disana nanti ustadznya itu.... SUBHANALLAH.”
Bujuk Kak Ulayya.
“Aku ikut aja deh, mbak.” Jawabku.
“Mirsha.. Mirsha.. kamu ini ada-ada aja.” Batin Kak Ulayya.
Dalam pengajian itu, entah kenapa aku sangat memperhatikan dan
menghayati tausiyah itu. Mungkin karena ustadznya yang gantengnya diatas
rata-rata itu, atau mungkin juga sedang mencermati apa-apa yang disampaikan
ustadz itu. Bahkan aku sampai menangis karena ustadz itu atau karena materi
yang disampaikannya sangat menyentuh. Wallahu Alam.
Tiga hari setelah pengajian itu, aku jarang makan, jarang keluar,
entah apa yang dipikirkan olehku dalam biliknya itu. Dan pada suatu hari saat
makan, aku pun memulai percakapannya.
“Kak....” Mulaiku.
“Apa?” Tanya Kak Ulayya dengan nada agak jengkel.
“Hmmmmmmm. Mirsha udah mutusin yang terbaik untuk Mirsha. Mutusin
untuk... tetep masuk pondok pesantren aja.”
“Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga akan hal yang terbaik
untukmu.” Kak Ulayya langsung memeluk Mirsha dengan bahagianya.
Hari ini adalah tepat perpisahan
kelas 9 MTsku. Aku mengenakan gaun hijau pastel dengan hujabnya yang
semakin membuatku terlihat anggun, tapi tidak menghilangkan unsur syar’inya.
Setelah puncak acara selesai, aku dan teman-temanku berkumpul di ruang UKS,
karena ada salah satu temanku yang pingsan.
“Fi, cepat sembuh ya” Kata Mirsha.
“Makasih ya. Eh denger-denger kamu mau pesantren ya?” Kata Nayla.
“Kamu yakin, Sha? Kalau aku sih lebih milih SMA ketimbang di
pondok.” Sela Zizi.
“Kamu dipaksa ya, Sha?” Sambung Tiara.
“Jawab dong, Sha!” Desak Zizi.
“Gimana mau jawab, kalian nyerocos mulu sih. Gini deh aku jelasin”
Jawab Mirsha dengan nada sedikit naik. Mirsha pun menjelaskan kepada ketiga
sahabatnya itu dari hulu hingga hilir. Supaya mereka berhenti tanya-tanya gak
jelas.
“Owww gitu ya. Kalau gitu aku dukung kamu deh.” Jawab Zizi.
“Syukron, Shodiqoti” Jawab Mirsha.
Mirsha langsung memeluk ketiga sahabat tercintanya itu.
***
Jumat, 18 Maret 2010 adalah awal sebuah perubahan hidupku. Dengan
segala persiapan yang ada, aku berangkat ke Pondok Pesantren Salaf Tebu Ireng,
Jombang. Ya Jombang, yang menurutku sudah sangat jauh untuk ukuranku. Dan tanpa
disangka-sangka, sebelum masuk pondok itu harus melewati tes lebih dahulu.
Hanya dengan berbekal pelajaran yang kudapatkan di MTs, aku melangkah ke ruang
ujian. Satu persatu soal kujawab dengan hati-hati. Entah kenapa, tanganku
begitu mudah menjawab soal-soal itu, tidak seperti mengerjakan soal UN atau
UAMBN.
Sehari setelah ujian itu, kertas pengumuman pun telah ditempel di
setiap mading. Dengan tangan gemetar, aku melihat pengumuman itu dan.
“Alhamdulillah Ya Allah, Aku masuk dan semoga ini yang terbaik
untukku.”
Hari pertama di pesatren sungguh berbeda dengan kehidupanku dahulu.
Dahulu yang masih bisa Facebookan ataupun hanya BBMan, kini sama sekali tidak
bisa, karena memang tidak boleh membawa Laptop apalagi HP. Sekarang di hidupku
hanya ada lantunan bunyi dzikir dan ayat suci-Nya. Yang dulu aku gak pernah
menguras kamar mandi apalagi WC, kini setiap hari Minggu aku harus melakukannya
dengan ikhlas. Yang dulu makan sudah tersedia, sekarang harus memasak dahulu,
kalau tidak mau ya tidak makan.
Sebulan di Pesantren mungkin masih santai. Namun menginjak bulan
kedua, semuanya berubah. Untuk masalah mengaji, memasak sendiri sedikit demi
sedikit bisa kuatasi. Namun entah kenapa aku tidak bisa adaptasi dengan
santriwati yang lain. Alhasil, aku menjadi pendiam. Aku merasa sendirian
disini. Pikiran untuk pulang dan masuk SMA pun selalu ada. Namun aku selalu
ingat perkataan almarhum Umi dan Abi. Semua itu sebisanya kutahan.
Suatu hari dalam sebuah pengajian umum di masjid pondokku, Aku
kaget bukan main. Aku melihat seseorang yang wajahnya tak asing lagi untukku.
Aku kembali mengingat siapa dia sebenarnya. Yaaap! Dialah ustadz yang membuatku
mengubah keputusanku untuk masuk SMA menjadi masuk Pondok Pesantren ini. Namun
siapa yang digandengnya itu? Apa itu istrinya? Entahlah, aku pun tak mau tau
lagi. Seperti biasa, Ustadz itu memberikan tausiyahnya. Dan seperti biasa pula,
aku pun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ustadz itu menerangkan tentang
cerita seorang santri yang masih belum betah di pondok. Namun karena
kesungguhannya, seorang santri itu bisa mempertahankan gelar santrinya itu
selama 4 tahun. Dari cerita itu, aku mengambil banyak pelajaran, mulai dari
sabar, lebih tekun belajar, dan masih banyak lagi.
Namun entah kenapa, masih ada yang mengganjal dalam hatiku. Suatu
hari, aku mendapat kiriman dari ketiga sahabat lamaku. Mereka mengirimkan
sebuah foto mereka di SMAnya masing-masing. Sakit rasanya hatiku. Aku pernah
berpikir.
“Mereka beruntung. Masa depan mereka sudah tergambar jelas. Gerbang
kesuksesan mereka sudah tepat didepan mata. Tapi aku? Masa depanku masih suram.
Bagaimana nasibku setelah lulus dari pondok ini?” Gumamku.
Namun pertanyaanku itu lebih baik kusimpan saja. Biarlah waktu yang
menjawabnya.
***
Detik demi detik berlalu. Hari demi hari berlalu. Tahun demi tahun
berlalu. Tak terasa 4 tahun berlalu begitu cepat. Pertanyaan yang dulu hanya
bisa kusimpan, kini perlahan bisa kujawab. Nyantri di pondok pesantren
bukan pilihan yang salah. Di pondok kita lebih banyak ilmu daripada di SMA. SMA
mungkin hanya mengajarkan mata pelajaran umum. Tapi di pondok kita mendapatkan
berkali-kali lipat dari semua itu. Kita bisa belajar mata pelajaran umum,
agama, sopan santun, kaligrafi, sampai rebana.
Masa depan seorang santri bukanlah masa depan yang suram. Tapi
sementara masih di pingit, untuk menghadapi persoalan hidup yang akan
datang. Jadi setelah seorang santri keluar dari pondok, mereka akan lebih mudah
untuk meraih sukses dalam pendidikan ataupun dalam masyarakat. Pilihan jurusan
ataupun universitas setelah lulus dari pondok pun lebih beragam. Seperti aku
ini rupanya, setelah lulus dari Pondok Pesantren Tebu Ireng, aku mendaftar ke
sebuah universitas di Paris. Dan takdirpun berkata sama pula. Aku diterima di
salah satu universitas terbaik di Paris dengan beasiswa yang semakin meringankan
beban Kak Ulayya. Dan untuk ketiga sahabatku, biarlah takdir yang mengatakannya
sendiri.
Namun ada kejadian aneh yag kualami selama aku di pondok dan di
Paris, entah kenapa aku selalu melihat sorang ustadz tampan bersama seorang
wanita bercadar yang persis ku lihat di pondok itu. Siapa sebenarnya mereka
itu? Mengapa mereka selalu ada di hadapanku di setiap tempat? Wallahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar